Advertisements

Tampilkan postingan dengan label Kisah Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juni 2016

Cari Tahu

Biografi Saad Bin Abi Waqqash (Seri II)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sa’ad tidak pernah ikut serta dalam satu pertempuran, kecuali ia akan membawa anak panah tersebut, dan hal itu terus dilakukannya hingga dia meninggal dunia.

Pada hari yang menyedihkan itu, datanglah Ummu Aiman untuk memberi minuman kepada para pasukan yang terluka dalam medan perang. Tiba-tiba seorang kafir melemparnya dengan anak panah, hingga dia pun terjatuh dan auratnya terbuka. Orang kafir tersebut pun tertawa. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengambil sebuah anak panah, lalu beliau bersabda kepada Sa’ad, “Wahai Sa’ad, lemparlah (anak panah ini)! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”

Demikianlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggabungkan penyebutan nama ayah dan ibu beliau ketika meminta sesuatu kepada Sa’ad, dan hal itu belum pernah beliau lakukan terhadap siapapun, kecuali kepada Sa’ad radhiallahu ‘anhu. Setelah Sa’ad melepaskan anak panah, anak panah tersebut  tepat mengenai leher orang kafir itu, hingga ia pun tewas seketika. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa, lalu beliau bersabda, “Sa’ad telah melakukan pembalasan untuknya (untuk Ummu Aiman). Semoga Allah mengabulkan doanya.”

Sejak saat itu yang menjadi senjata Sa’ad dalam setiap peperangannyaa adalah “anak panah yang diberkahi” dan “doa yang dikabulkan” itu. Sa’ad selalu teringat akan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditujukkan kepadanya, “Makanlah yang baik-baik, wahai Sa’ad, niscaya doamu akan dikabulkan.”

Dia juga teringat sabda Rasulullah lainnya, “Ya Allah, tepatkanlah lemparannya dan kabulkanlah doanya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya itu, maka Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun menjadi pemanah  jitu dan doanya selalu terkabulkan.

Mengenai lemparan jitu dan anak panah yang selalu mengenai sasaran, dapat dilihat dengan jelas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu diikuti oleh Sa’ad dalam melawan orang-orang musyrik, terutama ketika dia menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin dalam penaklukan negeri Persia dengan tujuan menyebarluaskan Islam disana.

Sebelum terjadinya peperangan yang sangat masyhur di negeri Persia (Qadisiyah), orang –orang Persia telah berkumpul dalam jumlah yang besar guna menghadapi orang-orang Islam. Saat itu ‘Umar bin Khaththab yang menjadi Amirul Mukminin ingin keluar guna menghadapi pasukan Persia dan memimpin pasukan kaum muslimin, namun ‘Ali bin Abi Thalib berhasil merayunya agar dia mengurungkan niatnya tersebut.

Tugas yang sangat sulit ini tidak mungkin dapat dilakukan, kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan, baik dalam  hal keimanan maupun fisiknya. Dari sini, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata kepada ‘Umar, “Sebaiknya kamu mengutus orang yang memiliki cakar-cakar seperti singa. Dia adalah Sa’ad bin Abi Waqqash.”

‘Umar pun mempertimbangkan perkataan ‘Abdur Rahman tersebut hingga akhirnya dia berpendapat bahwa Sa’ad merupakan singa yang pantas untuk dipercaya melakukan tugas yang sulit itu. ‘Umar pun menunjuknya sebagai pemimpin pasukan, lau dia berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, janganlah kamu terperdaya bila dikatakan (kepadamu) : ‘Engkau dalah paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan engkau adalah shhabat Rasulullah.’ Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menghapus suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya, melainkan dia akan menghapus suatu kejelekan dengan kebaikan. Wahai Sa’ad, sesungguhnya tidak ada satu hubungan pun antara Allah dengan salah seorangpun (dari hamba-hamba-Nya), kecuali hubungan ketaatan.”

Sa’ad bin Abi Waqqash pun keluar sebagai singa bagi Allah dan Rasul-Nya yang diutus untuk memimpin kaum muslimin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan di negeri Qadisiyah.

Melalui perantara Sa’ad, Allah memadamkan “api” (yang menjadi sesembahan) orang-orang Majusi, membersihkan bumi Persia dari najis, dan mengubah tempat-tempat penyembahan api menjadi masjid-masjid yang dipakai untuk menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Madain, ibu kota Persia, pun jatuh ke tangan kaum muslimin, lalu Allah memuliakan pasukan-Nya dengan memberikan kemenangan kepada mereka.

Meskipun pada waktu itu Sa’ad sedang merasakan kesakitan pada sebagian anggota tubuhnya, tetapi dia berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Dia tetap memimpin kaum muslimin guna meraih pertolongan yang telah dijanjikan Allah. Pada saat itu kaum muslimin pun selalu mengulang-ulangi perkataan, “Cukuplah Allah sebagai (penolong kami). Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Sa’ad dan kaum muslimin berjalan menyeberangi sungai Dijlah hingga mereka dapat sampai di tempat kaum musyrikin. Akhirnya, mereka dapat mengalahkan orang-orang Persia secara total. Hal itu tidak lepas dari kehebatan pemimpin mereka, sang pemilik anak panah yang selalu mengenai sasaran dan pemilik lemparan yang tepat.

Adapun doa yang selalu dikabulkan merupakan senjata kedua yang dipergunakan oleh Sa’ad dalam berperang melawan musuh-musuh Allah. Pintu-pintu langit selalu terbuka untuk  menyambut setiap doa yang dipanjatkan Sa’ad. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selalu mengabulkan doa dan permintaan Sa’ad kapan saja dia berdoa dan meminta kepada-Nya.

Sa’ad mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil, sedangkan dia sendiri telah tua, sebab ia tergolong terlambat memiliki anak. Ketika Sa’ad sakit keras hingga hampir saja dia wafat, dia pun berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil-kecil, maka tangguhkanlah kematianku hingga mereka baligh (dewasa).”

Allah pun menangguhkan kematian Sa’ad dua puluh tahun lagi hingga semua anaknya telah besar (dewasa).

Suatu hari ada seorang laki-laki yang mencaci ‘Ali radhiallahu ‘anhu, Thalhah, dan  Zubair. Melihat itu, Sa’ad pun melarang orang itu agar tidak melakukan hal tersebut, namun orang itu tak mau berhenti dari perbuatannya, bahkan dia terus mengulangi perkataannya itu. Karenanya, Sa’ad berkata, “Hentikanlah perbuatanmu ! Jika kamu tidak mau, maka aku akan berdoa untuk kejelekan dirimu!”

Orang itu berkata dengan nada mengejek, “Kamu mengatakan hal itu seolah-olah kamu adalah seorang nabi hingga doamu pun pasti dikabulkan.”

Sa’ad radhiallahu ‘anhu pun berdiri, lalu dia berwudhu, dan melakukan shalat dua rakaat. Setelah itu dia berdoa untuk kejelekan orang tersebut. Tidak berselang lama, orang laki-laki itu pun menjadi sebuah pelajaran dan bukti yang memperlihatkan kepada Sa’ad bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerima doanya. Tiba-tiba keluarlah seekor unta yang kuat yang datang dengan membabi buta, sepertinya ia sedang mencari seorang laki-laki yang di doakan oleh Sa’ad teersebut. Ketika melihat laki-laki tersebut, unta itu langsung menendang orang tersebut dengan menggunakan kaki-kakinya hingga orang itu pun jatuh ke tanah. Unta itu masih terus menendang dan menginjak orang tersebut hingga dia mati.
Wafatnya Sa’ad bin Abi Waqqash

Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, tidak banyak kebaikan dunia yang masih tersisa. Sebagian kaum muslimin saling berseteru dengan sebagian yang lainnya. Adapun Sa’ad berrusaha menjauhkan diri dari fitnah (kerusuhan) tersebut. Dia juga tidak turut berperang dalam kubu ‘Ali ataupun Muawiyah. Akan tetapi, dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah yang  berada jauh dari tempat terjadinya kerusuhan tersebut. Dia menjadi wali (gubernur) disana.

Ketika hari kematiannya datang, dia sempat berkata, “Aku mempunyai sebuah jubah yang terbuat dari bulu. Ketika menghadapi pasukan kaum musyrikin pada peperangan Badar, aku mengenakan jubah tersebut. Sesungguhnya aku ingin bertemu Allah dengan menggunakan jubah tersebut. Karenanya, kafanilah aku dengan jubah itu bila aku meninggal.”

Pada pagi hari di tahun ke-55 Hijriyah, kaum muslimin melayat  Sa’ad. Mereka memakamkannya di Baqi’ di samping kuburan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Ummahat Almu’minin) ikut mendoakannya. Mereka semua menangis tersedu-sedu, karena sang pelempar jitu dan pemilik doa yang selalu terkabulkan itu telah meninggal dunia.

Semoga Sa’ad dapat sampai ke surga-surga Allah, serta dapat meraih keridhaan dan ampunan-Nya. Kini yang tersisa hanyalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

“ Lemparkan (anak panah ini), wahai Sa’ad. Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu.”

Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh Kisah Muslim)

Jumat, 17 Juni 2016

Cari Tahu

Kisah Said Bin Zaid Radiyallohu Anhu

Kisah Sahabat Nabi

Sa'id Bin Zaid Ra

Sa'id bin Zaid al Adawy RA merupakan kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya.Sikap dan pandangan hidupnya ini ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.

Sejak lama Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka'bah ketika kaum Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku??"

Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena dianggap sebagai aib, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa jahiliahnya. Ia selalu menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut. Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah saat penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.

Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, "Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!"

Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan Nabi Muhammad SAW sebelum beliau dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok pemuda ini (yakni, Nabi Muhammad SAW) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping akhlaknya yang mulia, pemuda ini juga mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya tentang kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy. Tetapi Zaidmeninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi SAW berusia 35 tahun.

Dengan didikan seperti itulah Sa'id bin Zaid tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi SAW menyampaikan risalahnya, ia dan istrinya langsung menyambut seruan beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran walau saat itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khaththab, kakak iparnya sendiri yang merupakan jagoan duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras itu mengetahuinya juga.

Ketika itu Sa'id dan istrinya sedang mendapatkan pengajaran al Qur'an dari sahabat Khabbab bin Arats,tiba-tiba terdengar ketukan, atau mungkin lebih tepat gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan siapa yang mengetuk tersebut, terdengar jawaban yang garang, "Umar..!!"

Suasana khusyu' dalam pengajaran al Qur'an tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambilterus berdoa memohon pertolongan Allah untuk mereka. Sa'id dan istrinya menuju pintu sambil menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka oleh Sa'id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan, "Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?"

Sebelum kejadian itu, sebenarnya Umar telah membulatkan tekad untuk membunuh Nabi SAW. Kemarahannya telah memuncak karena kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab kesemuanya itu adalah dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi SAW. Dalam pemikiran Umar, jika ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy kembali tenang seperti semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya telah memeluk Islam. Nu'aim menyarankan agar ia mengurus kerabatnya sendiri saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran jika kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.

Sebenarnya Sa'id melihat bahaya yang tampak dari sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan tambahan kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, "Wahai Umar, bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu ternyata berada di pihak mereka ??"

Mendengar jawaban itu, Umar langsung menerkam Sa'id, memutar kepalanya kemudian membantingnya ke tanah, setelah itu Umar menduduki dada Sa'id. Sepertinya Umar ingin memberikan pukulan pamungkas untuk Sa'id, seperti kalau ia mengakhiri perlawanan musuhnya ketika sedang berduel di pasar Ukadz. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tetapi ia mendapat tinju keras Umar di wajahnya sehingga terjatuh dan darah mengalir dari bibirnya. Keadaan Sa'id sangat kritis, ia bukan lawan duel sebanding dengan Umar, dan ia hanya bisa pasrah jika Umar akan menghabisinya.

Tetapi tiba-tiba terdengar pekikan keras istrinya, Fathimah. Bukan ketakutan, tetapi pekikan perlawanan dan permusuhan dengan penuh keberanian, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah yangkamu suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalahRasullullah…!"

Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya … terkejut dan heran. Umar bin Khaththab seakan tak percaya, wanita lemah ini, yang tidak lain adiknya sendiri berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan akhirnya memeluk Islam.

Sebagaimana sahabat-sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, Sa’id bin Zaid merupakan sosok yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Hampir tidak pernah tertinggal dalam berbagai pertempuran dalam menegakkan panji-panji keimanan. Ia tidak mengikuti perang Badar, karena saat itu ia ditugaskan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi beliau menetapkannya sebagai Ahlul Badr dan memberikan bagian ghanimah dari perang Badar, walau secara fisik tidak terjun dalam pertempuran tersebut. Ada tujuh sahabat lainnya seperti Sa'id, tidak mengikuti perang Badar, tetapi Nabi SAW menetapkannya sebagai Ahlul Badr.

Sa'id juga termasuk dalam kelompok sepuluh sahabat yang dijamin oleh Nabi SAW akan masuk surga dalam masa hidupnya. Sembilan sahabat lainnya adalah, empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidah bi Jarrah R.Hum.

Sa'id sempat mengalami masa kejayaan Islam, di mana wilayah makin meluas dan makin banyak lowongan jabatan. Sesungguhnyalah ia pantas memangku salah satu dari jabatan-jabatan tersebut, tetapi ia memilih untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang diterjuninya, ia lebih memilih menjadi prajurit biasa. Dalam suatu pasukan besar yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqash, setelah menaklukan Damaskus,Sa'd menetapkan dirinya sebagai wali negeri/gubernur di sana. Tetapi Sa'id bin Zaid meminta dengan sangat kepada komandannya itu untuk memilih orang lain memegang jabatan tersebut, dan mengijinkannya untuk menjadi prajurit biasa di bawah kepemimpinannya. Ia ingin terus berjuang menegakkan kalimat Allah dan panji-panji kebenaran, suatu keadaan yang tidak bisa dilakukannyan jika ia memegang jabatan wali negeri.

Seperti halnya jabatan yang dihindarinya, begitu juga dengan harta dan kemewahan dunia. Tetapi sejak masa khalifah Umar, harta kekayaan datang melimpah-ruah memenuhi Baitul Mal (Perbendaharaan Islam), sehingga mau tidak mau, sahabat-sahabat masa awal seperti Sa’id bin Zaid akan memperoleh bagian juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah (bagian) lebih banyak daripada bagian sahabat yang memeluk Islam belakangan, yaitu setelah terjadinya Fathul Makkah. Namun, setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau uang, segera saja ia menyedekahkannya lagi, kecuali sekedarnya saja.

Namun dengan cara hidupnya yang zuhud itu, masih juga ada orang yang memfitnah dirinya bersikap duniawiah. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah, ketika ia telah menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk beribadah di Madinah. Seorang wanita bernama Arwa binti Aus menuduh Sa’id telah merampas tanah miliknya. Pada mulanya Sa’id tidak mau terlalu perduli atau melayani tuduhan tersebut, ia hanya membantah sekedarnya dan menasehati wanita itu untuk tidak membuat kedustaan. Tetapi wanita itu tetap saja dengan tuduhannya, bahkan ia melaporkan kepada gubernur Madinah.

Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih paman dari Muawiyah, atas laporan Arwa bin Aus itu memanggil Sa’id untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Setelah menghadap, Sa’id membantah tuduhan itu, ia berkata, “Apakah mungkin aku mendzalimi wanita ini (yakni merampas tanahnya), sedangkan aku mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang mendzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah akan melilitnya dengan tujuh lingkaran bumi pada hari kiamat kelak!!”

Sa’id memang meriwayatkan beberapa hadits Nabi SAW, termasuk hadits yang dijadikan hujjahnya itu. Ada hadits senada lainnya yang juga diriwayatkannya, yakni : Barang siapa yang berbuat dzalim terhadap sejengkal tanah, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi, dan barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia mati syahid.

Kemudian Sa’id berbalik menghadap kiblat dan berdoa, “Ya Allah, apabila dia (wanita itu) sengaja membuat-buat kebohongan ini, janganlah engkau mematikan dirinya kecuali setelah ia menjadi buta, dan hendaklah Engkau jadikan sumurnya sebagai kuburannya…!!”

Beberapa waktu kemudian Arwa binti Aus menjadi buta, dan dalam keadaan seperti itu ia terjatuh ke dalam sumur miliknya sendiri dan mati di dalamnya. Sebenarnya saat itu Sa’id berdoa tidak terlalu keras, tetapi beberapa orang sempat mendengarnya. Mereka segera saja mengetahui kalau Sa’id bin Zaid dalam kebenaran, dan doanya makbul. Namanya dan kebaikannya jadi semakin dikenal, dan ia banyak didatangi orang untuk minta didoakan.

Seperti halnya jabatan dan harta kekayaan, ke-terkenal-an (popularitas) juga tidak disukai oleh Sa’id bin Zaid ini. Walaupun ia sebagai sahabat as sabiqunal awwalin, selalu berjuang dan berjihad di jalan Allah setiap kali ada kesempatan, dan menghabiskan waktu dengan ibadah ketika sedang ‘menggantungkan pedang’, bahkan telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW ketika masih hidup bersama (hanya) sembilan sahabat lainnya, tetapi ia tidak terlalu menonjol dan terkenal dibanding sahabat-sahabat lainnya yang memeluk Islam belakangan, seperti misalnya Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Salman al Farisi dan lain-lainnya. Hal ini terjadi karena ia memang lebih suka ‘menyembunyikan diri’, lebih asyik menyendiri dalam ibadah bersama Allah, walau secara lahiriah ia berada di antara banyak sahabat lainnya. Setelah peristiwa dengan Arwa bin Aus dan banyak orang yang mendatangi dirinya, Sa’id merasa tidak nyaman. Apalagi kehidupan kaum muslimin saat itu, walau tinggal di Madinah, tetapi makin banyak saja yang ‘mengagung-agungkan’ kemewahan dunia. Jejak kehidupan Nabi SAW dan para sahabat masa awal, baik dari kalangan Muhajirin ataupun Anshar, yang selalu sederhana dan zuhud terhadap dunia sedikit demi sedikit mulai memudar. Karena itu Sa’id pindah ke daerah pedalaman, yakni di Aqiq, dan ia wafat di sana pada tahun 50 atau 51 hijriah. Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sahabat Rasulullah SAW lainnya.


Senin, 21 Maret 2016

Cari Tahu

Si Pencari Kebenaran "Salman Al-Farisy"

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Sesungguhnya sesiapa yang mencari kebenaran, pasti akan menemuinya. Kisah ini adalah kisah benar pengalaman seorang manusia mencari agama yang benar (hak), yaitu pengalaman Salman Al Farisy. Marilah kita simak Salman menceritakan pengalamannya selama mengembara mencari agama yang hak itu. Dengan ingatannya yang kuat, ceritanya lebih lengkap, terperinci dan lebih terpercaya.


Seorang sahabat Rasulullah saw. Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu'anhuma berkata, "Salman al-Farisi Radhiyallahu 'Anhu menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Kata Salman, "Saya pemuda Parsi, penduduk kota Isfahan, berasal dari desa Jayyan. Bapaku pemimpin Desa. Orang terkaya dan berkedudukan tinggi di situ. Aku adalah insan yang paling disayangi ayah sejak dilahirkan. Kasih sayang beliau semakin bertambah seiring dengan peningkatan usiaku, sehingga kerana teramat sayang, aku dijaga di rumah seperti anak gadis. Aku mengabdikan diri dalam Agama Majusi (yang dianut ayah dan bangsaku).  Aku ditugaskan untuk menjaga api penyembahan kami supaya api tersebut sentiasa menyala. Ayahku memiliki kebun yang luas, dengan hasil yang banyak Kerana itu beliau menetap di sana untuk mengawasi dan memungut hasilnya. Pada suatu hari bapa pulang ke desa untuk menyelesaikan suatu urusan penting. Beliau berkata kepadaku, "Hai anakku! Bapa sekarang sangat sibuk. Kerana itu pergilah engkau mengurus kebun kita hari ini menggantikan Bapak.''
Aku pergi ke kebun kami. Dalam perjalanan ke sana aku melalui sebuah gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka sedang sembahyang. Suara itu sangat menarik perhatianku. Sebenarnya aku belum mengerti apa-apa tentang agama Nasrani dan agama-agama lain. Kerana selama ini aku dikurung bapa di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapapun. Maka ketika aku mendengar suara mereka, aku tertarik untuk masuk ke gereja itu  dan mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Aku kagum dengan cara mereka bersembahyang dan ingin menyertainya.

Kataku, "Demi Allah! ini lebih bagus daripada agama kami". Aku tidak beranjak dari gereja itu sehinggalah petang. Sehingga aku terlupa untuk ke kebun. Aku bertanya kepada mereka, "Dari mana asal agama ini?", "Dari Syam (Syria)", jawab mereka. Setelah hari senja, barulah aku pulang. Bapak bertanyakan urusan kebun yang ditugaskan beliau kepadaku. Jawabku, "Wahai, Bapak! Aku bertemu dengan orang sedang sembahyang di gereja. Aku kagum melihat mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang seperti itu. Kerana itu aku berada di gereja mereka sampai petang." Bapa menasihati akan perbuatanku itu. Katanya, "Hai, anakku! Agama Nasrani itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu (Majusi) lebih baik dari agama Nasrani itu!" Jawabku, "Tidak! Demi Allah! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari agama kita". Bapak khawatir dengan ucapanku itu. Dia takut kalau aku murtad dari agama Majusi yang kami anuti. Kerana itu dia mengurungku dan membelenggu kakiku dengan rantai.

Ketika aku beroleh kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang Nasrani minta tolong kepada mereka untuk memaklumkan kepadaku andai ada kafilah yang  akan ke Syam supaya memberitahu kepadaku. Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu kafilah yang hendak pergi ke Syam. Mereka memberitahu kepadaku. Maka aku berusaha untuk membebaskan diri daripada rantai yang membelengu diriku dan melarikan diri bersama kafilah tersebut ke Syam. Sampai di sana aku bertanya kepada mereka.

"Siapa kepala agama Nasrani di sini?"
"Uskup yang menjaga "
jawab mereka.
 
Aku pergi menemui Uskup seraya berkata kepadanya, "Aku tertarik masuk agama Nasrani. Aku bersedia menadi pelayan anda sambil belajar agama dan sembahyang bersama-sama anda."
"Masuklah !!!" kata Uskup.

Aku masuk, dan membaktikan diri kepadanya sebagai pelayan. Setelah beberapa lama aku berbakti kepadanya, tahulah aku Uskup itu orang jahat. Dia menganjurkan jama'ahnya bersedekah dan mendorong umatnya beramal pahala. Bila sedekah mereka telah terkumpul, disimpannya saja dalam perbendaharaannya dan tidak dibahagi-bahagikannya kepada fakir miskin sehingga kekayaannya telah berkumpul sebanyak tujuh peti emas. Aku sangat membencinya kerana perbuatannya yang mengambil kesempatan untuk mengumpul harta dengan duit sedekah kaumnya. tidak lama kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani berkumpul hendak menguburkannya. Aku berkata kepada mereka,

"Pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian bersedekah dan digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh. Tapi bila kalian berikan sedekah kepadanya disimpannya saja untuk dirinya, tidak satupun yang diberikannya kepada fakir miskin."

Tanya mereka, "Bagaimana kamu tahu demikian?"
Jawabku, "Akan kutunjukkan kepada kalian simpanannya".
Kata mereka, "Ya, tunjukkanlah kepada kami!"

Maka kuperlihatkan kepada mereka simpanannya yang terdiri dan tujuh peti, penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka berkata, "Demi Allah! Jangan dikuburkan dia !!!"

Lalu mereka salib jenazah uskup itu, kemudian mereka lempari dengan batu. Sesudah itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri kepadanya. Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud daripadanya. Dia sangat membenci dunia tetapi sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang malam. Kerana itu aku sangat menyukainya, dan lama tinggal bersamanya.

Ketika ajalnya sudah dekat, aku bertanya kepadanya, "Wahai guru! Kepada siapa guru mempercayakanku seandainya guru meninggal. Dan dengan siapa aku harus berguru sepeninggalan guru?"

Jawabnya, "Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan seorang pendeta di Mosul, yang belum merubah dan menukar-nukar ajaran-ajaran agama yang murni. Hubungi dia di sana!"

Maka tatkala guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di Mosul. Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah meninggal itu. Kata pendeta Mosul, "Tinggallah bersama saya."

Aku tinggal bersamanya. Ternyata dia pendeta yang baik. Ketika dia hampir meninggal, aku berkata kepada nya, "Sebagaimana guru ketahui, mungkin ajal guru sudah dekat. Kepada siapa guru mempercayai seandainya  guru sudah tiada?"

Jawabnya, "Hai, anakku! Demi Allah! Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali seorang pendeta di Nasibin. Hubungilah dia!"

Ketika pendeta Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di Nasibin. Kepadanya kuceritakan pengalamanku serta pesan pendeta Mosul. Kata pendeta Nasibin, "Tinggallah bersama kami!"
Setelah aku tinggal di sana, ternyata pendeta Nasibin itu memang baik. Aku mengabdi dan belajar dengannya sehinggalah beliau wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku berkata kepadanya. "Guru sudah tahu perihalku maka kepada siapa harusku berguru seandainya guru meninggal?"

Jawabnya, "Hai, anakku! Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang teguh agamanya, kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuria. Hubungilah dia!"

Aku pergi menghubungi pendeta di Amuria itu. Maka kuceritakan kepadanya pengalamanku. Katanya, "Tinggallah bersama kami!"

Dengan petunjuknya, aku tinggal di sana sambil mengembala kambing dan sapi. Setelah guruku sudah dekat pula ajalnya, aku berkata kepadanya. "Guru sudah tahu urusanku. Maka kepada siapakah lagi aku akan anda percayai seandainya  guru meninggal dan apakah yang harus kuperbuat?"
Katanya, "Hai, anakku! Setahuku tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berpegang teguh dengan agama yang murni seperti kami. Tetapi sudah hampir tiba masanya, di tanah Arab akan muncul seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama Nabi Ibrahim. Kemudian dia akan berpindah ke negeri yang banyak pohon kurma di sana, terletak antara dua bukit berbatu hitam. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas. Dia mahu menerima dan memakan hadiah, tetapi tidak mahu menerima dan memakan sedekah. Di antara kedua bahunya terdapat tanda kenabian. Jika engkau sanggup pergilah ke negeri itu dan temuilah dia!"

Setelah pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu waktu segerombolan saudagar Arab dan kabilah "Kalb" lewat di sana. Aku berkata kepada mereka, "Jika kalian mau membawaku ke negeri Arab, aku berikan kepada kalian semua sapi dan kambing-kambingku." Jawab mereka, "Baiklah! Kami bawa engkau ke sana."

Maka kuberikan kepada mereka sapi dan kambing peliharaanku semuanya. Aku dibawanya bersama-sama mereka. Sesampainya kami di Wadil Qura aku ditipu oleh mereka. Aku dijual kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan Yahudi itu dan berkhidmat kepadanya sebagai hamba. Pada suatu hari anak saudara majikanku datang mengunjunginya, yaitu Yahudi Bani Quraizhah, lalu aku dibelinya daripada majikanku.

Aku berpindah  ke Yastrib dengan majikanku yang baru ini. Di sana aku melihat banyak pohon kurma seperti yang diceritakan guruku, Pendeta Amuria. Aku yakin itulah kota yang dimaksud guruku itu. Aku tinggal di kota itu bersama majikanku yang baru.

Ketika itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi baginda masih berada di Makkah menyeru kaumnya. Namun begitu aku belum mendengar apa-apa tentang kehadiran serta da'wah yang baginda sebarkan karena aku terlalu sibuk dengan tugasku sebagai hamba.
 
Tidak berapa lama kemudian, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpindah ke Yastrib. Demi Allah! Ketika itu aku sedang berada di puncak pohon kurma melaksanakan tugas yang diperintahkan majikanku. Dan majikanku itu duduk di bawah pohon. Tiba-tiba datang anak saudaranya mengatakan, "Biar mampus Bani Qaiah!( kabilah Aus dan Khazraj) Demi Allah! Sekarang mereka berkumpul di Quba' menyambut kedatangan lelaki dari Makkah yang mendakwa dirinya Nabi."

Mendengar ucapannya itu badanku terasa panas dingin seperti demam, sehingga aku menggigil kerananya. Aku khawatir akan jatuh dan tubuhku akan menimpa majikanku. Aku segera turun dari puncak ponon, lalu bertanya kepada tamu itu, "Apa kabar anda? Cobalah kabarkan kembali kepadaku!" Majikanku marah dan memukulku seraya berkata, "Ini bukan urusanmu! Kerjakan tugasmu kembali!"

Keesokannya aku mengambil buah kurma seberapa banyak yang mampu kukumpulkan. Lalu kubawa ke hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kataku, "Aku tahu tuan orang soleh. Tuan datang bersama-sama sahabat  tuan sebagai perantau. Inilah sedikit kurma dariku untuk sedekahkan kepada tuan. Aku lihat tuanlah yang lebih berhak menerimanya daripada yang lain-lain." Lalu aku hulurkan kurma itu ke hadapannya.

Baginda berkata kepada para sahabatnya, "silakan kalian makan,...!" Tetapi baginda tidak menyentuh sedikit pun makanan itu apalagi untuk memakannya. Aku berkata dalam hati, "Inilah satu di antara ciri cirinya!" Kemudian aku pergi meninggalkannya dan kukumpulkan pula sedikit demi sedikit kurma yang terdaya kukumpulkan. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pindah dari Quba' ke Madinah, kubawa kurma itu kepada baginda.

Kataku, "Aku lihat tuan tidak mahu memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit kurma, sebagai hadiah untuk tuan." Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memakan buah kurma yang kuhadiahkan kepadanya. Dan baginda mempersilakan pula para sahabatnya makan bersama-sama dengannya. Kataku dalam hati, "ini ciri kedua!"

Kemudian kudatangi baginda di Baqi', ketika baginda menghantar jenazah sahabat baginda untuk dimakamkan di sana. Aku melihat baginda memakai dua helai kain. Setelah aku memberi salam kepada baginda, aku berjalan mengekorinya sambil melihat ke belakang baginda untuk melihat tanda kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya baginda mengetahui maksudku. Maka dijatuhkannya kain yang menyelimuti belakangnya, sehingga aku melihat dengan jelas tanda kenabiannya.

Barulah aku yakin, dia adalah Nabi yang baru diutus itu. Aku terus memeluk bagindanya, lalu kuciumi dia sambil menangis. Tanya Rasulullah, "Bagaimana kabar Anda?"

Maka kuceritakan kepada beliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan menganjurkan supaya aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat baginda. Lalu kuceritakan pula kepada mereka. Mereka sangat kagum dan gembira mendengar kisah pengalamanku.

Berbahagilah Salman Al-Farisy yang telah berjuang mencari agama yang hak di setiap tempat. Berbahagialah Salman yang telah menemukan agama yang hak, lalu dia iman dengan agama itu dan memegang teguh agama yang diimaninya itu. Berbahagialah Salman pada hari kematiannya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali kelak.

Salman sibuk bekerja sebagai hamba. Dan kerana inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. "Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ suatu hari bersabda kepadaku, "Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!" Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.

Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengumpulkan para sahabat dan bersabda, "Berilah bantuan kepada saudara kalian ini." Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, setiap orang sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.

Setelah terkumpul Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadaku, "Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku."

Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan memberitahukan perihalku, Kemudian Rasulullah keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada baginda dan Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun meletakkannya di tangan baginda. Maka, demi jiwa Salman yang berada di tanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.

Untuk tebusan pohon kurma sudah dipenuhi, aku masih mempunyai tanggungan yang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas baginda bersabda, "Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?"

Kemudian aku dipanggil baginda, lalu baginda bersabda, "Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!"

"Wahai Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , bagaimana status emas ini bagiku? Soalku inginkan kepastian daripada baginda." Rasulullah menjawab, "Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberi kebaikan kepadanya." Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di tanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.

Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.'


(HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir(6/222); lbnu Sa'ad dalamath-Thabagat, 4/75; al-Balhaqi dalam al-kubra, 10/323.)


وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Cari Tahu

Kisah Para Raja, Uskup, Yahudi dan Nasrani yang Mengakui tentang Kebenaran Nabi Muhammad

Para Raja dan Kaisarpun Mengenalnya

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Berita akan muncul Nabi Muhammad sudah tertuang dan termaktub dalam kitab sebelum Alquran, namun karena memang mereka adalah orang yang sesat dan dimurkai, mereka menyembunyikan kebenaran akan hal ini. Allah عزوجل berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمُ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فَهُمْ لا يُؤْمِنُونَ


Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah).  Dalam ayat yang lain Allah berfirman 

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya," Mari kita simak pengakuan para uskup dan raja dikalangan mereka yang mengakui akan kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم 
 1. Kaisar Romawi Hiraklius

Ketika bertanya tentang Muhammad kepada Abu Sufyan yang ketika itu beliau belum masuk Islam, berikut pertanyaan dan jawaban antara Hiraklius dan Abu Sufyan
Pertanyaan pertama, "Bagaimanakah garis nasabnya di kalanganmu?"
Aku jawab, "Dia turunan bangsawan di kalangan kami."
Hiraklius bertanya lagi, "Pernahkah orang lain sebelumnya mengatakan apa yang dikatakannya?"
Aku menjawab, "Tidak"
"Adakah diantara nenek moyangnya yang menjadi raja?"
"Tidak,"
"Apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang mulia ataukah orang-orang dhuafa?"
"Hanya terdiri dari orang-orang dhuafa,"
"Apakah pengkutnya semakin bertambah atau berkurang?"
"Bahkan selalu bertambah"
"Adakah diantara mereka yang murtad karena benci kepada agama yang dipeluknya?"
"Tidak"
"Pernahkah dia melanggar janji?"
"Tidak dan sekarang kami sedang dalam perjanjian damai dengan dia, kami tidak tahu apa yang diperbuatnya dengan perjanjian itu"
"Pernah kamu berperang dengannya?"
"Pernah"
"Bagaimana peperanganmu itu?"
"Kami kalah dan menang silih berganti. Dikalahkannya kami dan kami kalahkan pula dia"
"Apakah yang diperintahkannya kepada kamu sekalian?"
"Dia menyuruh kami menyembah Allah semata dan jangan mempersekutukan-Nya. Tinggalkan apa yang diajarkan nenek moyang kami! Disuruhnya kami menegakkan shalat, berlaku jujur, sopan (teguh hati) dan mempererat persaudaraan."
Setelah mendengar jawaban dari Abu Sufyan Hiraklius berucap:
Sekiranya aku yakin akan dapat bertemu dengannya, walaupun dengan susah payah aku akan berusaha datang untuk menemuinya. Kalau aku telah berada di dekatnya akan kucuci kedua telapak kakinya."
Dari kisah ini kita ketahui bahwa mereka tahu betul hingga nasab dan ciri-ciri Nabi Muhammad

2. Kisah Raja Najasyi
 
Ketika para sahabat berhijrah ke negeri Habasyah, kemudian para Pembesar Quraisy hendak menjemput para sahabat untuk mereka kembali ke Madinah, maka Raja Najasyi bertanya kepada Ja'far bin Abi Tholib tentang apa yang diajarkan dalam agama islam, maka Ja'farpun membacakan surat Maryam yang menyebutkan kisah Maryam dan Nabi Isa.
Seketika itu pula raja Najasyi menangis mendengar kisah tersebut
Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut: “Apa yang me­re­­ka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa عليه السلام berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan me­reka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.”
Karena dia tahu, apa yang dipegang oleh para sahabat adalah kebenaran

3. Kisah perjalanan Salman Al Farisy mencari Islam

Ketika sahabat Salman Al Farisy mendatangi uskup di Amuriyah kemudian Salman meminta Wasiat kepada siapa lagi yang akan dia tuju maka uskup inipun memberikan wasiat kepada Salman Al Farisy.

-------------------------------------------------------------------
Baca Juga:
Si Pencari Kebenaran "Salman Al-Farisy"
-------------------------------------------------------------------

Uskup itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Lihat bagaimana mereka mengenal Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sampai pada fisiknyapun mereka mengetahui.

وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

-----------------------------------------
Sumber: Jendela Sunnah
-----------------------------------------
┄┄┉┉✽̶»̶̥»̶̥✽̶✽̶»̶̥»̶̥✽̶┉┉┄┄

Sabtu, 20 Februari 2016

Cari Tahu

Biografi Sa’ad Bin Abi Waqqash (Seri I)

 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu
“Aku adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan aku adalah orang yang pertama kali memanah musuh di jalan Allah.” Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash memperkenalkan dirinya. Dia adalah orang ketiga yang paling dulu masuk Islam, dan orang pertama yang memanah musuh di jalan Allah.

Biografi Sa’ad Bin Abi Waqqash (Seri I) 

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin ‘Abdi Manaf  hidup di Bani Zuhrah, yang merupakan paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu. Wuhaib adalah kakek Sa’ad. Dia adalah paman Aminah binti Wahab, ibu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang mengenal Sa’ad sebagai paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau merasa bangga kepadanya karena keberanian, kekuatan, dan kesungguhan imannya, maka beliau bersabda, “Ini adalah pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan kepadaku istrinya.”

Masuknya Sa’ad ke dalam Islam terjadi pada awal-awal munculnya Islam. Dia mengenal dengan baik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta mengetahui kejujuran dan sifat amanah beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah sering bertemu dengannya sebelum beliau diutus menjadi rasul. Beliau mengetahui betapa besar kecintaan Sa’ad untuk berperang  dan juga keberaniannya. Sa’ad sangat suka memanah. Dia selalu berlatih melempar anak panah. Dia masuk Islam dengan mudah dan tidak sulit, bahkan sangat cepat masuk Islam. Dia adalah orang ketiga dari tiga orang yang masuk Islam lebih dulu. Kondisi yang dialami Sa’ad tidak berbeda dengan kondisi orang-orang lain. Ketika ibunya ynag bernama Hamnah mengetahui tentang keislamannya, sang ibu pun sangat marah kepadanya.

Sang ibu berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad, apakah kamu meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu, lalu kamu mengikuti sebuah agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan mencicipi satu makanan dan minuman pun hingga kamu meninggalkan agama baru itu.” Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku dan tidak akan berpisah darinya.” Sang ibu bersikeras dengan sikapnya, sementara dia mengetahui bahwa Sa’ad sangat mencintainya, sehingga hatinya akan merasa iba ketika dia melihat ibunya berada dalam kondisi tubuh yang lemah dan tidak sehat lagi. Sang ibu tetap melakukan niatnya. Namun karena Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia pun berkata ibunya, “Wahai Ibu, demi Allah, andai engkau memiliki tujuh  puluh nyawa yang keluar satu demi satu, maka aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku untuk selama-lamanya.”

Sang ibu mengetahui bahwa anaknya itu telah berubah dan  tidak akan pernah kembali lagi ke agama sebelumnya untuk selama-lamanya. Karenanya, sang ibu pun makan dalam keadaan bersedih dan marah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan Sa’ad sebagai orang yang menyebabkan turunnya salah satu ayat Alquran, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”

Mengenai anggapan bahwa Sa’ad adalah orang yang pertama kali melemparkan anak panah dalam rangka berjuang di jalan Allah, dikisahkan bahwa suatu ketika kaum muslimin Makkah sedang mengerjakan shalat di lorong-lorong  jalan yang ada di Makkah secara sembunyi-sembunyi. Namun sebagian kaum musyrikin melihat mereka, lalu kaum musyrikin pun menyerang kaum muslimin, maka Sa’ad bin Abi Waqqash bangun dan langsung menyerang , mereka. Dia memanah salah seorang dari mereka hingga darah mengalir dari tubuh orang tersebut. Inilah darah pertama yang ditumpahkan oleh umat Islam.

(Saat kaum kuffar Makkah memboikot kaum muslimin) Sa’ad bersama Rasulullah berlindung di klan Abu Thalib, sehingga harus menahan lapar bersama beliau selama tiga tahun penuh. Selama itu Sa’ad hanya memakan dedaunan hingga akhirnya Allah pun menghendaki ujian ini berakhir. Tak lama kemudian Sa’ad radhiyalahu ‘anhu lalu pergi berhijrah ke madinah bersama orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Umair bin Abi Waqqash berhijrah bersama saudaranya, Sa’ad, ke Madinah. Ketika orang yang bertugas untuk mengumandangkan seruan jihad berkata, “Hayya ‘alal jihad” (Mari berjihad). Sa’ad pun segera keluar dengan membawa pedang dan panahnya. Saat  itu usia Sa’ad telah lebih dari dua puluh tahun, sedangkan Umair masih kecil. Umurnya belum mencapai tiga belas atau empat belas tahun.

Sebagaimana biasanya, Rasulullah selalu memeriksa kondisi pasukannya. Beliau akan menolak anak-anak kecil yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berperang. Rasulullah pun melihat Umair. Saat itu Umair bersembunyi agar dia tidak disuruh pulang oleh Rasulullah, yang menyebabkan dirinya tidak bisa ikut berperang bersama dengan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam nelihatnya, maka beliau menolak dan menyuruh Umair untuk pulang. Umair pun menangis hingga Nabi merasa iba kepadanya. Akhirnya, Rasulullah membolehkan Umair untuk keluar bersama pasukan Badar. Umair pun berdiri disamping Sa’ad guna berjihad di jalan Allah. Ketika peperangan selesai dan debu tidak lagi beterbangan, terlihatlah 14 orang dari kaum muslimin yang gugur sebagai syahid. Orang yang paling muda diantara ke-14 orang tersebut adalah Umair bin  Abi Waqqash. Sa’ad pun pulang dengan membawa kemenangan di satu tangannya dan tangisan (kesedihan) di tangan yang lain.

Kehidupan berjihad berlangsung dengan cepat. Orang-orang Islam berpindah dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain hingga tibalah saatnya perang Uhud. Saat itu para pasukan pemanah tidak mematuhi ucapan Nabi kita, lalu mereka meninggalkan tempat-tempat mereka. Melihat keadaan itu, pasukan kaum musyrkin pun menyerang kaum muslimin hingga akhirnya mereka sampai ke Rasulullah yang pada saat itu hanya segelintir shahabat saja yang ada di samping beliau, diantaranya Sa’ad bin Abi Waqqash radhiiyallahu ‘anhu. Ketika Rasulullah melihat Sa’ad, beliau bersabda kepadanya, “Usir mereka (maksudnya pukul mundur orang-orang musyrik itu).” Sa’ad berkata, “Bagaimana aku dapat melakukan hal itu sendirian?”

Akan tetapi kemudian, Sa’ad segera mengeluarkan anak panah dari sarungnya, lalu dia melemparkan anak panah itu ke arah salah seorang dari kaum musyrikin hingga orang itu tewas. Sa’ad kembali mengambil anak panah yang lain, lalu dengan anak panah itu dia pun membunuh salah seorang  lainnya dari kaum musyrikin. Demikianlah, panahnya telah membunuh banyak orang musyrik, mak a Sa’ad mengambil panahnya itu, lalu berkata, “Ini adalah panah yang diberkahi oleh Allah.”

 وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

=Bersambung insya Allah=
Sumber: Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006.